Abuya Syaikh H. Muhammad Muda Waly al-Khalidy an-Naqsyabandy

Kelahiran

Syaikh Muda Waly al Khalidy dilahirkan di Desa Blang Poroh, Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan pada tahun 1917. Beliau adalah putra bungsu dari Syaikh H. Muhammad Salim bin Malin Palito. Ayah beliau berasal dari Batu Sangkar, Sumatra Barat. Beliau datang ke Aceh Selatan selaku da`i. Sebelumnya, paman beliau yang masyhur dipanggil masyarakat Labuhan Haji dengan Tuanku Pelumat yang nama aslinya Syaikh Abdul Karim telah lebih dahulu menetap di Labuhan Haji. Tak lama setelah Syaikh Muhammad Salim menetap di Labuhan Haji, beliau dijodohkan dengan seorang wanita yang bernama Siti Janadat, putri seorang kepala desa yang bernama Keuchik Nya` Ujud yang berasal dari Desa Kota Palak, Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Siti Janadat meninggal dunia pada saat melahirkan adik dari Syaikh Muda Waly. Beliau meninggal bersama bayinya. Syaikh Muhammad salim sangat menyayangi Syaikh Muda Wali melebihi saudaranya yang lain. Kemana saja beliau pergi mengajar dan berda`wah Syaikh Muda Waly selalu digendong oleh ayahnya. Mungkin Syaikh Muhammad Salim telah memiliki firasat bahwa suatu saat anaknya ini akan menjadi seorang ulama besar, apalagi pada saat Syaikh Muda Waly masih dalam kandungan, beliau bermimpi bulan purnama turun kedalam pangkuannya.

Nama Syeikh Muda Waly pada waktu kecil adalah Muhammad Waly. Pada saat beliau berada di Sumatra Barat, beliau dipanggil dengan gelar Angku Mudo atau Angku Mudo Waly atau Angku Aceh. Setelah beliau kembali ke Aceh masyarakat memanggil beliau dengan Teungku Muda Waly. Sedangkan beliau sering menulis namanya sendiri dengan Muhammada Waly atau lengkapnya Syaikh Haji Muhammad Waly Al-Khalidy.


Perjalanan Pendidikan

Syaikh Muda Waly belajar belajar A-Qur an dan kitab-kitab kecil tentang tauhid, fiqh,dan dasar ilmu bahasa arab kepada ayahnya. Disamping itu beliau juga masuk sekolah Volks-School yang didirikan oleh Belanda. Setelah tamat sekolah Volks School, beliau dimasukkan kesebuah pesantren di Ibukota Labuhan Haji, Pesantren Jam`iah Al-Khairiyah yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Ali yang dikenal oleh masyarakat dengan panggilan Teungku Lampisang dari Aceh Besar sambil beliau sekolah di Vervolg School. Setelah lebih kurang 4 tahun beliau belajar di pesantren al-Khairiyah beliau diantarkan oleh ayahnya ke pesantren Bustanul Huda di Ibukota Kecamatan Blangpidie. Sebuah pesantren Ahlussunnah wal jama`ah sama seperti Pesantren al-Khairiyah, yang dipimpin oleh seorang ulama besar yang datang dari Aceh Besar yaitu Syaikh Mahmud. Di Pesantren Bustanul Huda, barulah beliau mempelajari kitab-kitab yang masyhur dikalangan ulama Syafi`iyah seperti I`anatut Thalibin, Tahrir dan Mahally dalam ilmu Fiqh, Alfiyah dan Ibn `Aqil dalam ilmu Nahwu dan Sharaf.

Setelah beberapa tahun di Pesantren Bustanul Huda, terjadilah satu masalah antara beliau dengan gurunya,Teungku Syaikh Mahmud yaitu perbedaan pendapat antara beliau dengan gurunya tersebut tentang masalah berzikir dan bershalawat sesudah shalat di dalam masjid secara jihar. Syaikh Muda Waly ingin melanjutkan pendidikan kepesantren lainnya di Aceh Besar, tetapi sebelumnya, ayah beliau ,Haji Muhammad Salim meminta izin kepada Syaikh Mahmud, meminta do`anya untuk dapat melanjutkan pendidikan kepesantren lainya dan yang terpenting meminta maaf atas kelancangan Syaikh Muda Waly berbeda pendapat dengan gurunya dalam masalah tersebut. Berkali kali beliau dan ayahnya meminta ma`af kepada Syaikh Mahmud tetapi beliau tidak menjawabnya. Pada akhirnya kemaafan beliau dapat setelah beliau kembali dari Sumatra Barat dan Tanah suci Makkah. Kejadian ini berawal dari kasus di kecamatan Blang Pidie. Ada seorang ulama dari kaum muda dari PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang bernama Teungku Sufi, mendirikan Madrasah Islahul Umum di Susuh, Blang Pidie, berda`wah dan membangkitkan masalah-masalah khilafiyah. Dalam satu perdebatan terbuka di Ibukota kecamatan Blang Pidie, dia mengungkapkan dalil dan alasannya sehingga hampir kebanyakan ulama termasuk Teungku Haji Muhammad Bilal Yatim dapat dikalahkan. Tetapi pada waktu giliran perdebatan Teungku Sufi tersebut dengan Syaikh Muda Waly semua dalil dan alasannya beliau tolak, beliau hancurkan tembok-tembok alasannya sehingga kalah total didepan umum. Tak lama setelah itu barulah Syaikh Mahmud mema`afkan kesalahan Syaikh Muda Waly yang berani berbeda pendapat dengannya pada waktu masih belajar di Bustanul Huda.

Setelah beberapa tahun belajar di Bustanul Huda, beliau mengungkapkan niatnya untuk melanjutkan pendidikannya kepesantren di Aceh Besar kepada ayahnya, Syaikh H. Muhammad Salim. Ayah beliau sangat senang mendengarkan niat beliau. Apalagi Syaikh H.Muhammad Salim telah mengetahui bahwa putranya ini telah menamatkan kitab-kitab agama yang dipelajari di Pesantren Bustanul Huda.

Sebagai bekal dalam perjalanan beliau dari Labuhan Haji, ayahanda beliau memberikan sebuah kalung emas yang lain merupakan milik kakak kandung Syaikh Muda Waly, yaitu Ummi Kalsum. Beliau diantar oleh ayahanda beliau dari desanya sampai ke kecamatan Manggeng. Setelah sampai ke Manggeng, ayahanda beliau berkata “Biarkan aku antarkan engkau sampai ke Blang Pidie”. Sesampainya di Blang Pidie, Syaikh Muhammad Salim berkata kepada putranya Syaikh Muda Waly “biarkan aku antarkan engkau sampai ke Lama Inong”. Pada kali yang ketiga ini Syaikh Muda Waly merasa keberatan, karena seolah-olah beliau seperti tidak rela melepaskan anaknya merantau jauh untuk menuntut ilmu. Syaikh Muda Waly berangkat ke Aceh Besar ditemani seorang temannya yang juga merupakan tamatan dari pesantren Busranul Huda, namanya Teungku Salim, beliau merupakan seorang yang cerdas dan mampu membaca kitab-kitab agama dengan cepat dan lancar.

Sesampainya di Banda Aceh, beliau berniat memasuki Pesantren di Krueng Kale yang dipimpin oleh Syaikh H. Hasan Krueng Kale, ayahanda dari Syaikh H. Marhaban, Menteri Muda Pertanian Indonesia para masa Sukarno. Beliau sampai di Pesantren Krueng kale pada pagi hari, pada saat Syaikh Hasan Krueng Kale sedang mengajar kitab-kitab agama. Diantara kitab yang dibacakan adalah kitab Jauhar Maknun.Syaikh Muda Waly mengikuti pengajian tersebut. Sebelum Dhuhur selesailah pembacaan kitab tersebut, dengan kalimat terakhir Wa huwa hasbi wa ni`mal wakil. Setelah selesai pengajian Syaikh Muda Waly merasa bahwa syarahan yang diberikan oleh Syaikh Hasan Krueng Kale tidak lebih dari pengetahuan yang beliau miliki. Walaupun demikian beliau tetap menganggap Syaikh Hasan Krueng Kale sebagai guru beliau. Bagi Syaikh Muda Waly cukuplah sebagai bukti kebesaran Syaikh Hasan Krueng Kale, apabila guru beliau Syaikh Mahmud Blang Pidie adalah seorang alumnus Pesantren Krueng Kale.Syaikh Muda Waly hanya satu hari di Pesantren Krueng Kale. Beliau bersama Tengku Salim mencari pesantren lain untuk menambah ilmu. Akhirnya merekapun berpisah. Pada saat itu ada seorang ulama lain di Banda Aceh yaitu Syaikh Hasballah Indrapuri, beliau memiliki sebuah Dayah di Indrapuri. Pesantren ini lebih menonjol dalam ilmu Al-Qur an yang berkaitan dengan qiraat dan lainnya. Syaikh Muda Waly merasakan bahwa pengetahuan beliau tentang ilmu al-Quran masih kurang. Inilah yang mendorong beliau untuk memasuki Pesantren Indrapuri. Pesantren Indrapuri tersebut dalam simtem belajar sudah mempergunakan bangku, satu hal yang baru untuk kala itu. Pada saat mengikuti pelajaran, kebetulan ada seorang guru yang membacakan kitab-kitan kuning, Syaikh Muda Waly tunjuk tangan dan mengatakan bahwa ada kesalahan pada bacaan dan syarahannya, maka beliau meluruskan bacaan yang benar beserta syarahannya. Dari situlah Ustad dan murid-murid kelas itu mulai mengenal anak muda yang baru datang kepesantren itu dan memiliki pengetahuan yang luas. Maka Ustad tersebut mengajak beliau kerumahnya dan memerintahkan kepada pengurus pesantren untuk mempersiapakan asrama temapat tinggal untuk beliau, kebetulan sekali pada saat itu perbekalan yang dibawa Syaikh Muda Waly sudah habis, maka dengan adanya sambutan dari pengurus pesantren tersebut beliau tidak susah lagi memikirkan belanja.

Pimpinan Pesantren Indrapuri tersebut, Teungku Syaikh Hasballah Indrapuri sepakat untuk mengangkat Syaikh Muda Waly sebagai salah satu guru senior di Pesantren tersebut. Semenjak saat itu Syaikh muda Waly mengajar di pesantren tersebut tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan malam semua waktunya dihabiskan untuk mengajar. Tinggallah sisa waktu luang hanya antara jam dua malam sampai subuh. Waktu itupun tetap diminta oleh sebagian santri untuk mengajar. Selama tiga bulan beliau mengajar di Dayah tersebut. Karena padatnya jadwal, beliau kelihatan kurus, tetapi Alhamdulillah walaupun demikian beliau tidak sakit.

Setelah sekian lamanya di Pesantren Indrapuri, datanglah tawaran dari salah seorang pemimpin masyarakat yaitu Teuku Hasan Glumpang Payoeng kepada Syaikh Muda Waly untuk belajar ke sebuah perguruan di Padang, Normal Islam School yang didirikan oleh seorang ulama tamatan al-Azhar Mesir Ustad Mahmud Yunus. Teuku Hasan tersebut setelah memperhatikan pribadi Syaikh Muda Waly, timbullah niat dalam hatinya bahwa pemuda ini perlu dikirim ke al-Azhar Mesir. Tetapi karena di Sumatra Barat sudah terkenal ada seorang Ulama yang telah menamatkan pendidikannya di al-Azhar dan Darul Ulum di Cairo, Mesir yang bernama Ustad Mamud Yunus yag telah mendirikan sebuah perguruan di Padang yang bernama Normal Islam School yang sudah terkenal kala itu melebihi perguruan perguruan sebelumnya seperti Sumatra Thawalib. Oleh sebab itu Teuku Hasan mengirimkan Syaikh Muda Waly ke pesantren tersebut sebagai jenjang atau pendahuluan sebelum melanjutkanke al Azhar.
Berangkatlah Syaikh Muda Waly menuju Sumatra barat dengan kapal laut.Beliau sama sekali tidak mengetahui tentang Sumatra Barat sedikit pun, dimana letak Normal Islam School dan kemana beliau harus singgah. Tiba tiba saja ada seorang penumpang yang telah lama memperhatikan tingkah laku dan gerak gerik Syaikh Muda Waly selama di kapal bersedia membantu Syaikh Muda Waly untuk bisa sampai ketempat yang beliau tuju.

Setelah sampai di Normal Islam beliau segera mendaftarkan diri di Sekolah tersebut. Lebih kurang tiga bulan beliau di Normal Islam dan akhirnya beliau mengundurkan diri dan keluar dengan hormat dari Lembaga pendidikan tersebut. Hal ini beliau lakukan dengan beberapa alasan :
1.     Cita-cita melanjutkan pendidikan kemana saja termasuk ke Normal Islam dengan tujuan memperdalm ilmu agama,karena cita-cita beliau mudah-mudahan beliau menjadi seorang ulama sperti ulama ulam besar lainnya.Tetapi rupanya ilmu agama yangdiajarkan di normal Islam amat sedikit.Sehingga seolah olah para pelajar disitu sudah dicukupkan ilmu agamanya dengan ilmu yang didapati sebelum memasuki pesantren tersebut.
2.      Di Normal Islam pelajaran umum lebih banyak diajrakan ketimbang pelajaran agama. Disana diajarkan ilmu matematika, kimia, biologi, ekonomi, ilmu falak, sejarah Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Belanda, ilmu khat dan pelajaran olahraga.  

Di Normal Islam beliau harus menyesuaikan diri dengan peraturan peraturan di lembaga tersebut. Di situ para pelajar diwajibkan memakai celana, memakai dasi, ikut olah raga disamping juga mengikuti pelajaran umum diatas. Menurut hemat Syaikh Muda Waly, kalau begini lebih baik beliau pulang ke Aceh mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki daripada menghabiskan waktu dan usia di Sumatra Barat.

Setelah beliau keluar dari Normal Islam, beliau bertemu dengan salah seorang pelajar yang juga berasal dari Aceh dan sudah lama di Padang yaitu Ismail Ya`qub, penerjemah Ihya `Ulumuddin. Bapak Ismail Ya`qub menyampaikan kepada Syaikh Muda Waly supaya jangan cepat cepat pulang ke Aceh, tetapi menetaplah dulu di Padang, barangkali ada manfaatnya.

Pada suatu sore beliau mampir untuk berjamaah maghrib di sebuah Surau yaitu di Surau Kampung Jao. Setelah shalat maghrib, kebiasaan disurau itu diadakan pengajian dan seorang ustaz mengajar dengan membaca kitab berhadapan dengan para jamaah. Rupanya apa yang di baca oleh ustaz itu beserta syarahan yang di sampaikan menurut Syaikh Muda Waly tidak tepat, maka beliau membetulkan, sehingga ustaz itu dapat menerima. Sedangkan jamaah para hadirin bertanya-tanya tentang anak muda yang berani bertanya dan membetulkan pendapat ustaz itu.

Akhirnya para jamaah beserta ustaz tersebut meminta beliau supaya datang ke Surau itu untuk menjadi imam solat dan mengajarkan ilmu agama. Begitulah dari hari ke hari, beliau mulai dikenal dari satu Surau ke Surau yang lain dan dari satu Mesjid ke Mesjid yang lain. Apalagi beliau bukan orang Padang, tetapi dari daerah Aceh dan nama Aceh sangat harum dalam pandangan ummat Islam Sumatra Barat. Dan yang lebih mengagumkan lagi ialah kemahiran beliau dalam ilmi Fiqh, Tasawwuf, Nahu dan ilmu lainnya. Barulah sejak itu beliau dipangil oleh masyarakat dengan Angku Mudo atau Angku Aceh.

Pada masa itu pula sedang hangat-hangatnya di Sumatra Barat tentang masalah- masalah keagamaan yang sifatnya adalah sunat, seperti masalah usalli, masalah hisab dalam memulai puasa Ramadan, hari raya ‘Id al-Fitri dan lain lain. Terjadilah perdebatan antara kelompok kaum tua dengan kelompok kaum muda.

Syaikh Muda Waly berasal dari Aceh dalam kelahiran dan pendidikannya, tentu saja berpendirian dalam semua masalah tersebut seperti pendirian para Ulama Aceh sejak zaman dahulu, karena semua Ulama Aceh khususnya dalam bidang Syari’at dan Fiqh Islam tidak ada bertentangan antara yang satu dengan yang lain. Apalagi Ulama Aceh zaman dahulu seperti syeikh Nuruddin al-Raniri, Syeikh Abdul Rauf al-fansuri al-singkili [Syiahkuala], Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsuddin Sumatrani dan lain lain semuanya bermazhab Syafi`i dan antara mereka tidak terjadi pertentangaan dalam syari``at dan Fiqh Islam kecuali hanya perbedaan pendapat dalam masalah Tauhid yang pelik dan sangat mendalam, yaitu masalah Wahdah al-Wujud, juga masalah hukum Islam yang berkaitan dengan politik, seperti masalah wanita menjadi raja.

Karena itulah maka semua masalah-masalah kecil di atas sangat dikuasai oleh Syaikh Muda Waly dalil-dalil hukum dan alasan-alasannya, al Qur’an dan Hadist dan juga dari kitab kitab kuning. Karena itulah, maka terkenallah beliau di kota Padang dan mulai dikenal pula oleh seorang Ulama besar di kota Padang, yaitu Syaikh Haji Khatib Ali, ayahandanya Prof. Drs. H. Amura. Syeikh Khatib Ali ulama besar ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah di Padang. Murid dari pada Syeikh Ahmad Khatib di Mekkah Al- Mukarramah. Beliu mendapat ijazah ilmu agama dari Syeikh Ahmad Khatib dan mendapat pula ijazah Tariqat Naqsyabandiyah daripada Syeikh Ustman Fauzi Jabal Qubais Mekkah al-Mukarramah. Yang menjadikan beliu terkenal di padang karena kegigihannya mempertankan `Aqidah Ahli al-Sunnah wa al-Jama`ah dan mazhab Syafi`i di samping pula beliu adalah menantu seorang ulama besar dalam ilmu Syari`at dan Tariqat yaitu Syeikh Sa`ad Mungka. Syeikh sa`ad Mungka dan Syaikh Khatib Ali sangat tertarik kepada Syaikh muda Waly sehingga beliau menjodohkan Syaikh Muda Waly dengan seorang family beliau yaitu Hajjah Rasimah, yang akhirnya melahirkan Syaikh Prof. Muhibbuddin Waly. Sejak itulah kemasyhuran Syaikh Muda Wali semakin meningkat dan terus ditarik oleh ulama-ulama besar lainnya dalam kelompok para ulama kaum tua, tetapi beliau secara tidak langsung juga mengambil hal-hal yang baik dari ulama-ulama lainnya, seperti orang tuanya Buya Hamka, Haji Rasul.

Kemudian Syaikh Muda waly juga berkenalan dengan Syaikh Muhammad Jamil Jaho. Maka beliau mengikuti pengajian yang diberikan oleh Ulama besar Padang tersebut. Hubungan beliau dengan Syaikh Muda Waliy pada mulanya hanya sekadar guru dan murid. Syaikh Jamil Jaho adalah seorang Ulama Minangkabau, murid Syaikh Ahmad Khatib. Beliau diakui kealimannya oleh ulama lainnya terutama dalam ilmu bahasa Arab. Di Pesantren Jaho itulah Syaikh Muhammad Jamil Jaho mengumpulkan murid muridnya yang pintar untuk mencoba pengetahuan Syaikh Muda Waly, pada lahiriyahnya mereka seperti mengaji pada Syaikh Muda Waly tapi pada hakikatnya adalah untuk menguji dan mencoba Syaikh Muda Waly dengan berbagai ilmu alat. Rupanya semua debatan tersebut dapat dijawab oleh Syaikh Muda Waly. Dari situlah, Syaikh Muda Waly semakin terkenal dikalangan para ulama Minangkabau. Akhirnya Syaikh Muda Waly dinikahkan dengan putri Syaikh Muhammada Jamil Jaho yaitu dengan seorang putrinya yang juga alim, Hajjah Rabi`ah yang akhirnya melahirkan Syaikh H. Mawardi Waly. Syaikh Muda Waly menempati rumah pemberian paman istri beliau yang pertama, Hajjah Rasimah. Rumah itu terdiri dari dari dua tingkat, pada bagian bawahnya di gunakan sebagai madrasah dan tempat majlis ta`lim.

Apabila datang hari hari besar Islam ummat Islam di Kota Padang beramai ramai datang kerumah tersebut. Para Ulama Kota Padang khususnya sering berdatangan ke rumah tersebut karena bila tak ada undangan Syaikh Muda Waly sibuk mengajar dan berdiskusi dengan para ulama lainnya apalagi dalam rumah itu juga tinggal seorang ulama besar lain, Syaikh Hasan Basri, menantu dari Syaikh Khatib `Ali Padang dan suami dari Hajjah Aminah, ibunda dari istri beliau Hajjah Rasimah. Pada tahun 1939 Syaikh Muda Waly menunaikan ibadah haji ke tanah suci bersama salah seorang istri beliau Hajjah rabi`ah. Selama di Makkah beliau tidak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan. Selain menunaikan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan waktu untuk menimba ilmu pengetahuan dari ulama ulama yang mengajar di Masjidil Haram antara lain Syaikh Ali Al Maliki, pengarang Hasyiah al - Asybah wan nadhaair bahkan beliau mendapat ijazah kitab-kitab Hadits dari Syaikh Ali al-Maliki.

Selama di Makkah Syaikh Muda Waly seangkatan dengan Syaikh Yasin Al fadani, seorang ulaam besar keturunan Padang yang memimpin Lembaga Pendidikan Darul Ulum di Makkah al-Mukarramah.

Pada waktu Syaikh Muda Waly berada di Madinah pada setiap saat shalat, beliau selalu menziarahi kuburan yang mulia Saiyidina Rasulullah Saw. Pada waktu itu siapa saja yang menziarahi kuburan Nabi secara dekat, akan dipukul oleh polisi dengan tongkatnya. Tetapi pada saat Syaikh Muda Waly sedang bermunujat dekat makam Rasullualah, beliau didekati oleh polisi, ingin memukul beliau, maka Syaikh Muda Waly langsung berbicara dengan polisi tersebut dengan bahasa arab yang fasih sehingga polisi tersebut tertarik dengan beliau dan membiarkan beliau duduk lama di dekat maqam Rasulullah. Di Madinah Syaikh Muda Waly berdiskusi dengan para ulama ulama dari negeri lain terutama dari Mesir. Beliau tertarik dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan di negeri Mesir, sehingga beliau sudah bertekat menuju ke Mesir, tetapi beliau lupa bahwa pada saat itu beliau membawa istri beliau Hajjah Rabi`ah. Istri beliau keberatan ditinggalkan untuk pulang ke Indonesia akhirnya beliau urung berangkat ke Mesir.

Selama beliau di Makkah ataupun Madinah beliau tak sempat mengambil ijazah dalam Tahariqat apapun. Hal ini kemungkinan besar karena dua hal :
1.      Karena beliau berada di tanah suci lebih kurang hanya tiga bulan, waktu yang sangat singkat bagi beliau yang mempunyai cita-cita besar untuk menggali ilmu dari berbagai ulama. Sehingga habislah waktu beliau hanya untuk menemui dan berdiskusi dengan para ulama lainnya.
2.      Pada umumnya para pelajar yang datang ke Tanah suci untuk mengamalkan thariqat, mengambil ijazah dan berkhalwat harus berada di tanah suci pada bulan Ramadan. Karena pada bualn Ramadan halaqah pengajian sepi bahkan libur. Semua waktu dalam bulan Ramadhan dutujukan untuk beribadah. Sedangkan Syaikh Muda Waly berada di Tanah suci bukan dalam bulan Ramadhan .

Kepulanngan Syaikh Muda Waly dari tanah suci mendapat sambutan dari murid-murid beliau serta dari Ulama-ulama Minangkabau lainnya seperti Syaikh `Ali Khatib, Syaikh Sulaiman Ar Rasuli, Buya Syaikh Jamil Jaho. Hal ini dikarenakan, dengan kembalinya Syaikh Muda Waly maka bertambah kokoh dan kuatlah benteng Ahlussunnah wal Jamaah di padang khususnya. Dikalangan Ulama tersebut, Syaikh Muda Waly merupakan yang termuda diantar mereka, sehingga dalam perdebatan-perdebatan ilmu keagamaan yang populer pada masa itu, Syaikh Muda Waly lebih didahulukan oleh Ulama dari kelompok kaum tua untuk menghadapi Ulama dari kaum muda .Uniknya kedua belah pihak (Ulama kaum Tua dan Ulama kaum Muda) menampilkan orang orang muda dari kedua belah pihak. Sehingga antara ulama dari kedua belah pihak seolah olah tidak terjadi perbedaan pendapat.

Walaupun Syaikh Muda Waly telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, namun ada hal yang belum memuaskan hati beliau yaitu ilmu yang beliau miliki belum mampu menenangkan batin beliau, akhirnya beliau memutuskan untuk memasuki jalan Tasauf sebagaiman yang telan ditempuh oleh ulama- ulama sebelumnya. Apabila ar-Raniri di Aceh mengambil tariqat Rifa`iyah dan Syaikh Abdur Rauf yang lebih dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Teungku Syiah Kuala mengambil tariqah Syatariyah maka Syaikh Muda Waly memilih Thariqat Naqsyabandiyah, sebuah tariqat yang popular di Sumatra Barat kala itu. Beliau berguru kepada seorang Ulama besar Tariqah di Sumatera Barat kala itu yaitu Syaikh Abdul Ghaniy al-Kamfary bertempat di Batu Bersurat, Kampar, Bangkinang. Beliau bersuluk disana selama 40 hari lamanya. Menurut sebagian kisah menyebutkan bahwa selama dalam khalwatnya dengan riyadhah dan munajat berupa mengamalkan zikir-zikir sebagaimana atas petunjuk Syaikh Abdul Ghany, beliau sempat mengalami lumpuh sehingga tidak bisa berjalan untuk mandi dan berwudhuk.

Setelah selesai berkhalwat beliau merasakan kelegaan batin yang luar biasa jauh melebihi kebahagiannya ketika mendapat ilmu yang bersifat lahiriyah selama ini. Beliau mendapat ijazah mursyid dari Syaikh Abdul Ghani sebagai pertanda bahwa beliau sudah diperbolehkan untuk mengembangkan Thariqah Naqsyabandi yang beliau terima. Setelah mendapat ijazah Thariqah beliau kembali ke Kota Padang dan mendirikan sebuah Pesantren yang bernama Bustanul Muhaqqiqin di Lubuk Begalung, Padang. Sebuah pesantren yang terdiri dari beberapa surau dan asrama. Banyak murid yang mengambil ilmu di Pesantren tersebut bahkan juga santri-santri dari Aceh. Tetapi pada saat Jepang masuk ke Padang, Syaikh Muda Waly mengambil keputusan pulang ke Aceh karena di Aceh beliau merasa lebih tenang dan nyaman dalam mengamalkan dan mengembangkan ilmu yang telah beliau miliki. Sehingga akhirnya Pesantren yang beliau bangun di Padang lumpuh.


Pulang ke Aceh

Setelah Syaikh Muda Waly berjuang menuntut ilmu pengetahuan melalui pendidikan yang secara lahiriahnya seperti tidak teratur, tetapi pada hakikatnya bagi Allah s.w.t., perjalanan pendidikan beliau selama ini membawa beliau naik ke tingkat martabat Ulama dan hamba Allah yang shalih. Maka dengan hasil perjalanan pandidikannya serta pengalaman-pengalaman yang beliau dapati selama ini, rasanya bagi beliau sudah cukup dijadikan pokok utama untuk mengembangkan agama Allah ini dengan pendidikan Pesantren di tempat beliau dilahirkan, di Blang Poroh Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Meskipun pada waktu itu kata Darusssalam itu belum ada, dan adanya nama ini setelah beliau mendirikan Pesantren di desa beliau sendiri.

Lebih kurang pada akhir tahun 1939, beliau kembali ke Aceh Selatan melalui parahu layar dari Padang ke Aceh di kecamatan Labuhan haji. Beliau disambut dengan meriah oleh ahli famili, para teman dan masyarakat Labuhan Haji. Setelah beberapa hari beliau berada di desanya, maka beliau bertekad membagun sebuah pasantren. Pembangunan sebuah pesantren kali pertama tentu seadanya saja. Maka beliau hanya mendirikan sebuah surau bertingkat dua. Pada tingkat dua di atas sebagai tempat tinggal beliau beserta keluarga, sedangkan pada tingkat bawah dan yang masih tersisa di atas dipergunakan sebagai tempat ibadah.

Lahan tempat mendirikan Musholla yang diberi oleh famili beliau sangat terbatas, sedangkan jamaah sudah mulai kelihatan berbondong-bondong datang ke Surau beliau. Ibu-ibu pada malam selasa dan harinya, sedangkan bapak-bapak pada malam rabu dan harinya. Oleh karena itu, maka beliau ingin memperluas lahan untuk betul-betul memulai sebuah pesantren yang dapat menampung santri-santri dengan tempat tinggalnya, yang dalam istilah Aceh disebut dengan rangkang-rangkang. Maka beliau berusaha untuk membeli tanah sekitar surau yang ada. Beliau membeli tanah untuk pembangunan pesantren sedikit demi sedikit, hingga mencapai ukuran 400x250 m2. Di atas tanah itulah beliau menampung santri-santri yang berdatangan sedikit demi sedikit, dari Kecamatan Labuhan Haji dan dari Kecamatan-kecamatan di Aceh Selatan, bahkan juga dari berbagai kabupaten di Daerah Istimewa Aceh. Berkembanglah pesantren itu, sehingga pelajar-pelajar dari luar daerahpun pada berdatangan, khususnya dari berbagai Propinsi di Pulau Sumatra.

Pesantren itu beliau bagi-bagi atas berbagai nama, sebagai berikut :

Pertama : Darul-Muttaqin, di bagian ini terletak lokasi madrasah, mulai dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi dan di sampingnya dibangun sebuah surau besar selaku tempat ibadah. Khususnya dalam pengembangan tariqat Naqsyabanditah dan dijadikan tempat khalwat atau suluk 40 hari selama ramadhan dengan 10 hari sebelumnya, 10 pada awal zulhijjah, 10 hari pada bulan Rabiul awal

Kedua : Darul `Arifin, dilokai ini bertempat tinggal guru guru yang sebagian besar sudah berumah tangga. Lokasinya agak berdekatan dengan pantai Laut Samudra Hindia

Ketiga : Darul Muta`allimin, di tempat ini tinggal para santri pilihan diantaranya anak Syaikh Abdul ghani Al kampari, guru tasauf Syaikh muda Waly .

Keempat : Darus Salikin, dilokasi ini banyak asrama-asrama tempat tinggal para pelajar penuntut ilmu yang juga digunakan sebagai tempat berkhalwat.

Kelima : Darul zahidin, lokasi yang paling ujung dari lokasi pesantren Darussalam ini. Kalau bukan karena tempat lainnya sudah penuh, maka jarang sekali santri yang mau tinggal di lokasi ini apalagi tempat ini pada mulanya merupakan tambak udang dan ikan .

Keenam : Darul Ma`la, lakasi ini merupakan lokasi nomor satu karena tanahnya tinggi dan udaranyapun bagus dan terletak dipinggir jalan .

Semua lokasi ini dinamakan oleh Syaikh Muda waly dengan nama demikian sebagai tafaul kepada Allah semoga semua santri yang belajar disitu menjadai hamba-hamba Allah yang senatiasa menuntut ilmu (Al Muta`allimin), hamba-hamba yang Zahid, mengutamakan akhirat dari pada dunia (Az-Zahidin), hamba-hamba yang shalih mendapat tempat terhormat baik disisi Allah maupun dalam pandangan masyarakat .

Tak lama kemudian beliau menikah dengan seorang wanita dari Desa Pauh, Labuhan Haji. Kemudian beliau mendirikan sebuah pesantren lain di Ibukota Kecamatan. Pesantren ini merupakan sebuah pesantren khusus, pelajarnya juga tidak banyak, para pelajar di pesantren ini secara langsung berhadapan dengan kaum yang berfaham wahabi sehingga mendatangkan persaingan pengembangan ilmu pengetahuan agama melalui perdebatan yang diadakan para pelajar membahas masalah-masalah khilafiyah dengan dalil-dalilnya menurut pendirian ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Dipesantren inilah diadakan pengajian yang dikuti oleh semua lapisan masyarakat bahkan juga dikuti oleh kalangan Muhammadiyah dan golongan Salik Buta sehingga menjadikan majlis ini majlis yang dipenuhi dengan pertanyaan dan debatan yang ditujukan kepada Syaikh Muda Waly, namun semuanya dapat di jawab oleh Syaikh Muda Waly dengan jawaban ilmiah yang memuaskan.



Pendidikan Pesantren Darussalam

Di pesantren yang beliau bangun itu Syaikh Muda Waly mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama. Khusus untuk kaum ibu pada hari malam selasa, hari senin, dan malam senin. Pada malam senin kaum ibu mendapat ceramah agama dari guru-guru yang telah ditetapkan oleh beliau. Sedangkan pada selasa pagi sebelum zuhur, setelah pengajian subuh, semua kaum ibu-ibu yang bermalam di pesantren ikut membangaun Pesantren dengan menimbun sebagian lokasi Pesantren yang belum rata dengan batu yang diambil dari pantai. Satu hal yang aneh dan luar biasa, batu itu dihempaskan oleh gelombang air laut ke pantai dan batu-batu itu semuanya berwarna putih bersih. Batu-batu ini hanya terdapat di pantai yang berada di dekat pesantren. Setelah shalat Dhuhur para ibu-ibu tersebut mendapat ceramah dari guru yang telah ditentukan oleh Syaikh Muda Waly yang kemudian lanjutkan dengan tawajuh dalam tariqat Naqsyabandiyah dan shalat Ashar. Sedangkan waktu untuk kaum laki-laki adalah pada selasa malam mulai maghrib hingga larut malam.

Pada setiap bulan Ramadan Syaikh Muda Waly mengadakan khalwat untuk masyarakat yang dimulai sejak sepuluh hari sebelum Ramadan sampai harai raya Idul Fitri. Ada yang berkhalwat selama 40 hari ada juga yang 30 hari dan ada juga yang 20 hari. Selain dalam bulan Ramadan, khalwat juga diadakan dalam bulam Rabiul awal selama 10 hari. Demikian juga pada bulan Zulhijjah selama 10 hari semenjak tanggal satu sampai 10 Zulhijjah.

Sistem pendidikan pesantren yang diterapkan oelh Syaikh Muda Waly terbagi kepada dua :

Pertama : sistem qadim, yakni sitem pendidikan yang telah berjalan bagi para Ulama sebelumnya. Sistem ini menekankan supaya kitab-kitab yang dipelajari mesti khatam. Guru hanya membaca, menerjemahkan dan menjelaskan sepintas lalu makna yang terkandung di dalamnya. Menurut beliau sitem ini kita bagaikan naik bus pada malam hari, yang kita lihat hanyalah jalan yang disorot oleh lamu bus saja, walaupun perjalanannya panjang dan banyak yang kita lihat tetapi hanyalah sekedar jalan yang diterangi oleh lampu bus saja, sedangakan dikiri kanannya kita tidak melihatnya .

Kedua : sistem madrasah. Pada sitem ini para pelajar sudah mengunakan bangku dan papan tulis. Pada sitem kedua ini tidak ditekankan pada khatam kitab, tetapi harus banyak diskusi untuk pendalaman. Sebagai contoh, apabila pelajaran Fiqh yang dibaca adalah kitab Tuhfah al-Muhtaj Syarah Minhajul Thalibin, maka yang dibaca hanya sekitar 10 baris saja, dilanjutkan dengan pembahasan pada matannya, syarahnya serta hasyiah hasyiahnya serta pendalaman berdasarkan dalil-dalilnya baik dari Al Qur an, Hadits ataupun disiplin ilmu lainnya. Ini memang memakan waktu yang lama, tetapi bila para santri terbiasa dengan sistem ini maka akan menghasilkan pemahaman yang mendalam dalam memahami kitab kuning. Rupanya kedua sitem ini sangat menarik sehingga banyak santri yang berdatangan ke Darussalam yang berasal dari berbagai daerah.

Syaikh Muda Waly mengamalkan ilmunya dengan luar biasa. Pukul 6.00 pagi beliau mengajar semua santri muali dari tingkat yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Disini terbuka pintu bagi semua santri untuk menanyakan segala sesuatu tentang lafaz yang beliau baca. Pukul 9.00 pagi setelah sarapan dan Shalat Dhuha belaiu menagjar pada tingkat yang lebih tinggi, yang terdiri dari para dewan guru. Kitab yang dibaca adalah Tuhfah al-Muhtaj, Jam`ul Jawami` dan kitab besar lainnya samapai waktu ashar. Sesudah Asar beliau juga menyediakan waktu bagi siapa saja yang berminat mengambil ilmu dari beliau. Syaikh Muda Waly sangat disiplin dalam mengajar sehingga dalam kondisi sakitpun beliau tetap mengajar. Pernah pada satu kali pada saat beliau sakit, para murid beliau sepakat untuk tidak mendebat beliau, tetapi hanya mendengarkan penjelasan dari beliau. Rupanya hal ini membuat beliau marah, kenapa para murid beliau tidak mendebat beliau. Pertanyaan dan debatan dari murid-murid beliau rupanya menjadi obat yang sangat mujarab bagi beliau. Tetapi beberapa saat setelah mengajar beliau kembali jatuh sakit. Ketekunan dan kedisiplinan beliau dalam mendidik muridnya telah membuahkan hasil yang luar biasa, sehingga dari beliau lahirlah puluhan Ulama-ulama yang menjadi benteng Ahlussunnah di Aceh dan sekitarnya. Hampir seluruh pesantren di Aceh sekarang ini mempunyai pertalian keilmuan dengan beliau dan dari murid-murid beliau lahir pulalah Ulama-ulama terpandang dalam masyarakat. Dengan adanya perjuangan beliau perkembangan faham wahabi dan ide pembaruan terhadap ajaran islam yang telah menjalar ke sebagian tokoh-tokoh di Aceh dapat ditekan. Beliau sangat istiqamah dengan faham Ahlussunnah dan mazhab Syafi’i.


Murid-murid Beliau :

1.      al-Marhum Tgk. H. Abdullah Hanafiah Tanoh Mirah, pimpinan Dayah Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireuen.
2.      al-Marhum Tgk. H. Abdul Aziz bin Shaleh, pimpinan Pesantren LPI MUDI Mesra (Ma`hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya) Samalanga, Bireuen.
3.      al-Marhum Tgk. H. Muhammad Amin Arbiy Tanjongan, Samalanga, Bireuen.
4.      Tgk. H. Muhammad Amin Blang Bladeh (Abu Tumin) pimpinan Pesantren al-Madinatut Diniyah Babussalam, Blang Bladeh, Bireuen.
5.      Teungku H. Daud Zamzamy. Aceh Besar.
6.      al-Marhum Tgk. H. Syaikh Syihabuddin Syah (Abu Keumala) pimpinan Pesantren Safinatussalamah, Medan.
7.      Teungku Adnan Mahmud pendiri Pesantren Ashabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan.
8.      al-Marhum. Tgk. H. Syaikh Marhaban Krueng Kalee (putra Syaikh H. Hasan Krueng kale) mantan Menteri Muda era Sukarno.
9.      al-MarhumTgk. H. Muhammad Isa Peudada, Bireuen.
10.  al-Marhum Tgk. H. Ja`far Shiddiq, Kuta Cane.
11.  al-Marhum Tgk. H. Abu Bakar sabil, Meulaboh, Aceh Barat.
12.  al-Marhum Tgk. H. Usman fauzi, Cot Iri, Aceh Besar.
13.  Abuya Prof. H. Muhibbuddin Waly (putra beliau sendiri yang paling tua)
14.  al-Marhum Syaikh Jailani.
15.  al-Marhum Syaikh Labai Sati, Padang Panjang.
16.  al-Marhum Tgk. H. Qamaruddin, Teunom, Aceh Barat.
17.  Tgk. H. Syaikh Jamaluddin Teupin Punti, Lhok sukon, Aceh utara.
18.  Tgk. H. Syaikh Ahmad Blang Nibong, Aceh Utara.
19.  Tgk. H. Syaikh Abbas Parembeu, Aceh Barat.
20.  Tgk. H. Syaikh Muhahammad Daud, Gayo.
21.  Tgk. H. Syaikh Ahmad, Lam Lawi, Aceh Pidie.
22.  Tgk. H. Muhammad Daud Zamzami, Aceh Basar.
23.  Tuanku H. Idrus, Batu Basurek, Bangkinang.
24.  al-Marhum Tgk. H. Syaikh Amin Umar, Panton labu. Aceh Utara.
25.  Syaikh H. Nawawi Harahap, Tapanuli.
26.  al-Marhum Tgk. H. Syaikh Usman Basyah, Langsa.
27.  Tgk. H. Syaikh Karimuddin, Alue Bilie, Aceh Utara.
28.  Tgk. H. Syaikh Basyah Kamal Lhoung, Aceh Barat
Dan lain lain banyak lagi.


Karya Beliau

1.      al-Fatwa, Sebuah kitab dalam bahasa Indonesia dengan tulisan arab, berisi kumpulan fatwa beliau mengenai berbagai macam permasalahan agama.
2.      Tanwirul anwar, berisi masalah masalah aqidah.
3.      Risalah Adab Zikir Ismuz Zat.
4.      Permata Intan, sebuah risalah singkat berbentuk soal-jawab mengenai masalah i`tidaq.
5.      Intan Permata, risalah singkat berisi masalah tauhid
Dalam risalah yang terakhir (Intan Permata) beliau memberi keputusan tentang perdebatan Syaikh Ahmad Khatib dengan Syaikh Sa`ad Mungka, beliau menyebutkan :
“Ketahuilah hai segala ummat Ahlissunnah wal Jamah, bahwasanya karangan yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib yang bernama: Izhar Zighlil-Kazibin, tentang membantah Rabithah dan Thariqat naqsyabandiyah itu adalah silap dan salah paham dari Syaikh yang mulia itu, karena beliau itu telah ditolak oleh yang mulia Syaikh Sa`ad Mungka Payakumbuh (Sumatra Tengah) dengan kitabnya Irghamu Unufil Muta`annitin. Kemudian kitab ini dijawab pula oleh yang mulia Syaikh Ahmad al-Khatib dengan kitabnya as Saiful Battar. Kitab ini pun ditolak oleh yang mulia Syaikh As`ad Mungka dengan kitabnya yang bernama Tanbihul `Awam. Pada akhirnya patahlah kalam Tuan Syaikh Ahmad al-Khatib. Karena itu maka hamba yang faqir ini, Syaikh Muhammad waly al-Khalidy sebabnya mengambil Thariqat Naqsyabandiyah adalah setelah muthala`ah pada karangan karangan Syaikh Ahmad Khathib dan karangan karangan Syaikh Sa`ad Mungka dimana antara karangan kedua-dua Ulama itu sifatnya soal-jawab dan debat-berdebat. Perlu diketahui bahwa Tuan Syaikh Ahmad Khatib itu murid Sayyid Syaikh Bakrie bin sayyid Muhammad Syatha. Sedangkan Tuan Syaikh As`ad Mungkar murid Mufti az-Zawawy, gurunya Syaikh Usman Betawi yang masyhur itu. Maka muncullah kebenaran ditangan Tuan Syaikh Sa`ad Mungka apalagi saya telah melihat pula kitab as-Saiful Maslul karangan Ulama Madinah selaku menolak kitab Izhar Zighlil Kazibin. Oleh sebab itu bagi murid-muridku yang melihat karanagn Syaikh Ahmad Khatib itu janganlah terkejut, karena karangan beliau itu ibarat harimau yang telah dipancung kepalanya.”
Syaikh Muda Waly bukan hanya berperan dalam menyebarkan ilmu agama saja. Tapi beliau memiliki andil yang besar dalam mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia. Dalam mempertahankan proklamasi 17 agustus 1945 para ulama Aceh tampil kedepan dengan mengeluarkan fatwa jihad fi sabilillah dan mendirikan barisan barisan perjuangan. Pada tanggal 18 Zulqa`dah 1364 Teungku Syaikh Hasan Krueng Kalee mengeluarkan fatwa dengan menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan Republik Indonesia dan berperang menetang musuh-musuh Allah adalah suatu kewajiban dan apabila mati dalam peperangan itu akan mendapat pahala syahid. Disamping itu juga diterangkan pula hendaklah ummat islam mengorbankan jiwa dan harta untuk menolong agama Allah dan menolong negara yang sah. Fatwa itu disebarkan luas ke seluruh Aceh melalui pemuda-pemuda Aceh yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Pemuda Republic Indonesia.

Berdasarkan itu Syaikh Muda Waly di Labuhan Haji memperkuat fatwa tersebut melalui pengajian-pengajian dan ceramah-ceramah umum. Bahkan beliau menjabat sebagai pimpinan tertinggi dalam bariasan Hizbullah, meskipun dalam pelaksanaannya banyak diserahkan kepada keponakannya yang juga merupakan seorang Ulama muda yang kemudian menjadi menantu beliau. Di samping itu PERTI yang dipimpin oleh Nya` Diwan telah membawa satu barisan perjuanagan dari Sumatra Barat yang disebut Lasymi (Laskar Muslimin Indonesia). Antara kedua laskar ini saling mengisi demi memperjuangkan Ahlussunnah dan mempertahankan kedaulatan Negara dari tangan penjajah..


Peristiwa Berdarah di Aceh

Dalam mempertahankan keutuhan negara Indonesia beliau juga memiliki peran ynag sangat penting. Pada tanggal 13 Muharram 1373 / 21 september 1953 meletuslah peristwa berdarah di Aceh yaitu peristiwa DI/TII yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Daud Bereueh, mantan Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo dan mantan Gubernur Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin utama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh). Syaikh Muda Waly tidak bergabung dalam PUSA karena sebagian besar ulama ynag bergabung dalam PUSA telah terpengaruh dengan ide pembaruan dalam Islam dari Minangkabau.

Dalam hal ini para Ulama besar di Aceh yang terdiri dari Kaum Tua antara lain Syaikh Muda waly, Syaikh Hasan Krueng Kalee, Teungku Abdul Salam Meuraksa, Teungku Saleh Mesigit Raya dan Ulama lainnya tidak mendukung gerakan ini, karena mereka mengetahui bahwa latar belakang kejadian ini bukanlah hal yang dikaitkan dengan agama tetapi hanyalah hal yang dikaitkan dengan dunia semata. oleh karena itu para Ulama tersebut mengeluarkan fatwa mengutuk pemberontakan tersebut atas nama para mereka. Tetapi karena semua ulama tersebut berada dalam PERTI maka penonjolannya lebih terlihat atas nama PERTI. Teungku Syaikh Muda Waly pada tanggal 18 November 1959 dalam suatu rapat umum di Labuhan Haji mengharamkan pemberontakan tersebut dan beliau menyatakan siap memberi bantuan menurut kesanggupan beliau. Para Ulama-ulama tersebut sangat menyayangkan kenapa faktor pemberontakan tersebut tidak di musyawarahkan terlebih dahulu dengan para ulama-ulama besar di Aceh. Sehingga segala permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus melalui peristiwa berdarah. Karena jasa beliau itu, beliau pernah diundang oleh Presiden Sukarno ke Istana Bogor pada tahun 1957 untuk menghadiri Konferensi Ulama Indonesia untuk memutuskan kedudukan Presiden Sukarno menurut Islam. Dalam konferensi tersebut beliau dan para ulama dari seluruh Indonesia sepakat menyatakan bahwa presiden Sukarno itu Presiden yang sah dengan prediket Wali al-Amri adh-Dharury bisyl Syaukah.


Wafat Beliau

Setelah berjuang demi tegaknya agama ini, akhirnya Syaikh Muda Waly kembali kehadapan Allah pada tanggal 11 syawal 1381 / 20 maret 1961 tepat pukul 15.30 WIB hari selasa. Jenazah beliau di shalatkan oleh Ulama dan murid-murid beliau serta masyarakat yang terjangkau kehadirannya ke Dayah Labuhan Haji, karena pada zaman itu kendaraan umum masih sangat minim di Aceh selatan. Beliau dimakamkan dalam komplek Dayah Labuhan Haji yang beliau pimpin. Selanjutnya kepemimpinan Pesantren tersebut dilanjutkan oleh putra-putra beliau secara bergantian antara lain Syaikh Muhibbuddin Waly, Syaikh Jamaluddin Waly, Syaikh Mawardi Waly, Syaikh Nasir Waly, Syaikh Ruslan Waly dan putra-putra beliau lainnya. Hal ini karena hampir semua putra beliau menjadi Ulama-ulama terkemuka. Beliau bukan hanya berhasil dalam mendidik murid-muridnya tetapi juga berhasil mendidik putra-putranya menjadi Ulama-ulama yang gigih mempertahankan faham Ahlussunnah wal Jamaah. Keberhasilan beliau dapat terlihat dengan jelas, dimana sekarang ini hampir semua pesantren tradisional di Aceh mempunyai silsilah keilmuan dengan beliau. Coba kita lihat beberapa pesantren di Aceh saat ini antara lain :

1.      Pesantren LPI .MUDI MESRA, Samalanga dipimpin oleh Teungku H.Hasanoel Basry(Abu Mudi)murid dari Syaikh Abdul Aziz (murid Syaikh Muda Waly, pimpinan MUDI MESRA sebelumnya)
2.      Pesantren Al Madinatud Diniyah Babusslam Blang Bladeh, Bireun dipimpin oleh Syaikh H.Muhammad Amin Blang Bladeh (murid Syaikh Muda Waly)
3.      Pesantren Malikussaleh Panton Labu Aceh utara, dipimpin oleh Syaikh .H. Ibrahim Bardan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
4.      Pesantren Darul Huda Lhueng Angen, Lhok Nibong, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Abu Daud(murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
5.      Pesantren Darul Munawwarah, Kuta Krueng, Bandar Dua. Pidie Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Usman Kuta Krueng (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
6.      Pesantren Darul Ulum, Tanoh Mirah, Bireun, dipimpin oleh Tgk. Muhammad Wali, putra Syaikh Abdullah Hanafiah (murid Syaikh Muda waly dan pimpinan Pesantren tersebut sebelumnya)
7.      Pesantren Raudhatul Ma`arif Cot Trueng Aceh Utara, dipimpin oleh Tgk. H. Muhammad Amin (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
8.      Pesantren Darul Huda, Paloh Gadeng, Aceh Utara, dipimpin oleh Syaikh Mustafa Ahmad (Abu Mustafa Puteh, murid Syaikh Muhammad Amin Blang Bladeh)
9.      Pesantren Ashhabul Yamin, Bakongan, Aceh Selatan, dipimpin oleh Syaikh Marhaban Adnan (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga, putra Syaikh Adnan Mahmud Bakongan)
10.  Pesantren Ruhul Fata, Seulimum, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. H. Mukhtar Luthfy (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga)
11.  Pesantren Serambi Makkah, Meulaboh, Aceh Barat, dipimpin oleh Syaikh Muhammad Nasir L.c (murid Syaikh Abdul Aziz, Samalanga putra Abuya Syaikh Muda waly)
12.  Bahrul Ulum Diniyah Islamiyah (BUDI) Lamno, Aceh Jaya, dipimpin oleh Tgk. H. Asnawi Ramli, sebelumnya dipimpin oleh Tgk. Syaikh Ibrahim Lamno (murid Syaikh Abdul `Aziz, Samalanga)
13.  Yayasan Dayah Ulee Titi, Ulee Titi, Aceh Besar, dipimpin oleh Tgk. Syaikh `Athaillah (murid Syaikh Ibrahim Lamno)
Kesemua Pesantren tersebut dan beberapa pesantren lainnya mempunyai pertalian keilmuan dengan Syaikh Muda Waly. Demikianlah manaqib singkat Syaikh Muda Waly yang lebih populer dalam masyarakat Aceh dengan sebutan Abuya Muda Waly, seorang Ulama yang sangat berperan dalam mempertahankan Faham Ahlussunnah dan mazhab Syafii di bumi Aceh. Seorang Ulama besar yang bisa dikatakan sebagai Mujaddid untuk Aceh dan sekitarnya. Semoga Allah menempatkan beliau disisi-Nya yang tinggi dan semoga Allah melahirkan Syaikh Muda Waly lainnya untuk Aceh ini khususnya dan untuk ummat Islam umumnya. Amin ya Rabbal’alamin.


Author by : Ijal Mantap

Syaikh MUHAMMAD NAWAWI at-TANARA al-BANTANI

Muqaddimah

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Syekhasal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.

Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai lama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila SYEKHHasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali SYEKHHasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.


Hidup Syekh Nawawi

Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

Ayahnya bernama Syekh Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.

Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.

Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Ahmad Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan SyekhAbdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Salah satu Guru utamanya pun berasal dari Mesir seperti SyekhYusuf Sumbulawini dan SyekhAhmad Nahrawi.

Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Ulama di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.

Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini, nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A ‘yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz.

Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada Syekhagar proses pembelajaran dengan Syekhtidak mengalami kesulitan.


Bidang Teologi

Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara konprehenshif-utuh.

Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.

Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.

Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.

Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenamya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.

Sayangnya sebagian sejarawan modem terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”.Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.

Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat a/-Naja, Syarh Sullam a/-Taufiq, Nihayat a/-Zain fi Irsyad a/-Mubtadi’in dan Tasyrih a/a Fathul Qarib,sehingga Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi Syekh Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas alAzhar Mesir pemah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama Syekh Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.


Sufi Brilian

Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin alGazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya (pamannya sendiri) Syekh Abdul Karim, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, Namun atas pilihan karir dan pengembangan spesialisasi ilmu penegatahuan yg ditekuni serta tuntutan masyarakat beliau tidak mengembangkan metoda tarbiyah tasawuf seperti guru2nya. Ketasawufan beliau dapat dilihat dari pandangannya terhadap keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah basil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.

Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dibedakan dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.

Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini.

Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin.

Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan tejerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).

Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan. bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik.

Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang.. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Syekh Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.

Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-Iembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi.

Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : K.H Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, K.H Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, K.H Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, K.H Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, K.H Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, K.H Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, KH. Jahari Ceger Cibitung Bekasi Jawa Barat. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi.

Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan wama jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh Nawawi Banten, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir.

Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sarna sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir a/-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik ia tidak mall mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Syekh Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat.

Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sarana lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Syekhpara pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para Syekhdidikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi.

Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain mejadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karnya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat alGazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain.



Copas dari
Yayasan Pendidikan Islam Al Barkah
http://www.facebook.com/pages/Yayasan-Pendidikan-Islam-Al-Barkah/145837338789261

BERDZIKIR DENGAN SUARA KERAS

Muqaddimah

Hingga kini, masih banyak orang yang under estimate, merasa tidak mempercayai dengan dalil suudzon dan syak wasangka, apakah benar ada yang dinamakan dzikir jahar atau dzikir keras. Kebanyakan dari mereka, mengira bahwa yang dinamakan dzikir keras itu sesuatu yang tidak ada riwayat dari Rasulnya. Benarkah?

Sebagai ilustrasi, sebagaimana orang bijak pernah berkata, bahwa manusia akan dikumpulkan dengan orang yang disukainya. Jika ia mencintai musik, maka ia akan berkumpul dengan para pecinta musik. Jika ia mencintai hobi motor cross misalnya, maka ia akan berkumpul dengan mereka yang mencitai hobi yang sama. Tidak perduli dengan suara bising dan dentuman musik yang menjadi-jadi. Bagi mereka yang penting adalah mencari kenikmatan.

Ya, begitulah bahwa manusia akan dikumpulkan bersama dengan orang yang memiliki hobi dan minat yang sama. Demikian juga dengan dzikir, atau bagi mereka yang menyukai dzikir. Timbulnya pertanyaan, benarkah ada dzikir jahar, ialah keluar dari mereka yang memang belum mencintai apa itu dzikir jahar. Padahal, Allah sendiri adalah firman-Nya menyatakan bahwa orang yang beriman yang memiliki hati suci, jika mendengar dzikir akan tersentuh dan gemetar hatinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” (QS. Al Anfal ayat 2).

Dalam ayat ini, Allah memberi isyarat bahwa mereka yang beriman tidak akan merasa resah tetapi akan tersentuh hati dan jiwanya jika mendengarkan dzikir. Dari ayat ini yang menjadi titik tekan adalah dalam kata dzukiro, yang berarti dzikir itu dibacakan. Berarti orang yang beriman itu mendengar bacaan dzikir, lalu mereka bergetar hatinya. Kemudian, kita bisa menyimpulkan bahwa apa pun yang bisa didengar atau terdengar itu adalah suara yang dinyaringkan atau dikeraskan. Berarti dzikir dalam ayat tersebut adalah dzikir jahar atau dzikir yang dinyaringkan. Untuk lebih jelasnya, maka kita uraikan satu per satu ayat Al Quran dan Hadits yang menerangkan tentang dzikir jahar.



HUKUM DZIKIR KERAS (JAHAR) DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADITS  

HUKUM DZIKIR JAHAR DALAM AQUR’AN


- 1. Q.S. AL-‘AROF AYAT 204 :

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapatkan rahmat .”


Penjelasan ayat ini bukan menunjukan dzikir dalam hati tapi dzikir yang terdengar atau dzikir keras. Namun, Ayat di atas seakan bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadits yang lain tentang anjuran untuk berdzikir dalam hati seperti Q.S.Al-‘Arof ayat 205: “Sebutlah nama Allah di dalam hatimu dengan merendahkan diri dan tidak dengan suara yang keras dari pagi sampai petang, Dan janganlah dirimu menjadi golongan yang lupa (lalai).”


Sebenarnya Ayat 205 ini tidaklah bertentangan dengan ayat 204 yang menunjukan akan diperintahkannya dzikir jahar. Dan ayat 205 ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang dzikir keras karena akan bertentangan dengan dzikir yang telah umum yang biasa dibaca dengan suara keras, seperti takbiran, adzan, membaca talbiyah ketika pelaksanakan haji, membaca al-qur’an dengan dikeraskan atau dilagukan, membaca sholawat dangan suara keras dan lain-lain. Hanya saja, Q.S Al’Arof ayat 205 ini hanya menjelaskan tentang dzikir yang tidak memakai gerak lidah yaitu dzikir dalam hati atau khofi. Jadi penjelasan Ayat 205 ini menunjukan, bagaimanapun bentuknya dzikir jika dibaca dalam hati pasti tidak akan mengeluarkan suara karena dzikirnya sudah menggunakan hati, bahkan sudah tidak menggunakan gerak lidah.

Kesimpulan dari dua ayat itu, Allah menunjukan adanya perintah dibolehkannya berdzikir dengan jahar (keras) maupun dzikir dalam hati (khofi) yang tidak memakai gerak lidah.

- 2. Q.S.AL-BAQOROH AYAT 200 :

“Apabila engkau telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menywebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu atau bahkan berdzikirlah lebih (nyaring dan banyak) daripada itu.”


Menurut Ibnu Katsir, latar belakang turunnya ayat ini ialah kebiasaan bangsa Arab, baik suku quraisy maupun lainnya pada musim haji mereka biasanya berkumpul di Mudzalifah setelah wukuf di Arafah. Disitu mereka membanggakan kebesaran nenek moyang mereka dengan cara menyebut-nyebut kebesaran nenek moyang mereka itu dalam pidato mereka. Ketika telah memeluk agama Islam, Nabi memerintahkan mereka hadir di Arafah untuk wukuf kemudian menuju mudzdalifah. Setelah mabit di mudzdalifah mereka diperintahkan untuk meninggalkan tempat itu dengan tidak menunjukan perbedaan diantara mereka (dengan cara menyebut kebesaran nenek moyang) seperti yang mereka lakukan pada masa pra Islam.

Berbeda dengan Ibnu Katsir, yaitu Mahmud Hijazi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, bila kamu selesai mengerjakan haji maka berdzikirlah kepada Tuhanmu dengan baik (dengan cara menyebut-nyebut nama Allah) sebagaimana kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu sewaktu kamu jahiliyah atau sebutlah nama Allah itu lebih keras daripada kamu menyebut-nyebut nama nenek moyangmu itu. Begitu pun penafsiran Ibnu Abbas, seperti terdapat dalam kitab Tanwir al Miqbas ketika menafsirkan kata aw asyadda dzikro yang berarti menyebut Allah dengan mengatakan “Ya Abba” seperti menyebut nenek moyang “Ya Allah”.

Dua pendapat mufasir di atas mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa menyebut nama Allah dalam pengertian dzikrullah dianjurkan setelah menunaikan ibadah haji,. Dzikrullah tersebut dikerjakan dengan suara keras, bahkan boleh dengan suara yang lebih keras daripada suara jahiliyah tatkala mereka menyebut nama nenek moyang mereka ketika berhaji.


- 3. Q.S. AL-BAQOROH AYAT 114 :

“ Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalangi-halangi menyebut nama Allah di dalam mesjid-mesjid-Nya ..”



- 4. Q.S. AN-NUR AYAT 36 :

Didalam semua rumah Allah diijinkan meninggikan (mengagungkan) suara untuk berdzikir dengan menyebut nama-Nya dalam mensucikan-Nya sepanjang pagi dan petang.”



- 5. Dan lain-lain



HUKUM DZIKIR JAHAR MENURUT HADITS ROSUL 



HADITS KE SATU
Dalam Kitab Bukhori jilid 1:

Dalam hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibnu Abbas ra., berkata: “Inna rof’ash shauti bidzdzikri hiina yanshorifunnaasu minal maktuubati kaana ‘ala ‘ahdi Rosuulillaahi sholallaahu alaihi wasallam kuntu ‘alamu idzaanshorrofuu bidzaalika sami’tuhu.” Artinya :“Sesungguhnya mengeraskan suara dalam berdzikir setelah manusia-manusia selesai dari sholat fardlu yang lima waktu benar-benar terjadi pada zaman Nabi Saw. Saya (ibnu Abbas) mengetahui para sahabat melakukan hal itu karena saya mendengarnya .”


Selanjutnya dalam hadits :“Suara yang keras dalam berdzikir bersama-sama pada waktu tertentu atau ba’da waktu sholat fardhu, akan berbekas dalam menyingkap hijab, menghasilkan nur dzikir” (HR. Bukhari).

- HADITS KE DUA

Dari Abu Khurairah ra, katanya Rasulullah bersabda: “Allah berfirman; ‘Aku berada di dalam sangkaan hamba-Ku tentang diri-Ku, Aku menyertainya ketika dia menyebut-Ku, jika dia menyebut-Ku kepada dirinya, maka Aku menyebutnya kepda diri-Ku. Maka jika menyebut-tu di depan orang banyak, maka Aku akan menyebutnya di tempat yang lebih baik daripada mereka” (HR. Bukhari).

Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut di depan orang banyak’, berarti dzikir tersebut dilakukan secara jahar.



- HADITS KE TIGA

Diriwayatkan di dalam Al Mustadrak dan dianggap saheh, dari Jabir ra. berkata: “Rasulullah keluar menjumpai kami dan bersabda: ‘Wahai saudara-saudara, Allah memiliki malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis-majlis dzikir di dunia. Maka penuhilah taman-taman syurga’. Mereka bertanya:’Dimanakah taman-taman syurga itu?’. Rasulullah menjawab: ‘Majlis-majlis dzikir.’ Kunjungilah dan hiburlah diri dengan dzikir kepada Allah” (HR. Al Badzar dan Al Hakim).

Penjelasan hadits ini, bahwa dalam kalimat ‘malaikat yang pergi berkeliling dan berhenti di majlis dzikir di dunia’ maksudnya berarti dzikir dalam hal ini adalah dzikir jahar yang dilakukan manusia. Karena malaikat hanya mengetahui dzikir jahar dan tidak mampu mengetahui dzikir khofi. Hal ini sebagaimana sabda Rasul: “Adapun dzikir yang tidak terdengar oleh malaikat yakni dzikir khofi atau dzikir dalam hati yakni dzikir yang memiliki keutamaan 70x lipat dari dzikir yang diucapkan” (HR. Imam Baihaqi dalam Kitab Tanwirul Qulub hal.509).

- HADITS KE EMPAT

Hadits yang dishohehkan oleh An Nasai dan Ibdu Majjah dari As Sa’ib dari Rasululah SAW, beliau bersabda: “Jibril telah datang kepadaku dan berkata, ‘Perintahkanlah kepada sahabat-sahabatmu untuk mengeraskan suaranya di dalam takbir”(HR. Imam Ahmad Abu Daud At Tirmidzi).

Penjelasan hadits ini, bahwa sangat jelas tidak dilarangnya dzikir keras tetapi dianjurkan untuk melakukan dzikir jahar.



- HADITS KE LIMA

Didalam kitab Sya’bil Iman dari Abil Jauza’ ra. berkata :“Nabi Saw, bersabda, “Perbanyaklah dzikir kepada Allah sampai orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian).” (H.R.Baihaqi)

Penjelasan hadits ini, jika dikatakan menyebut “orang-orang munafik berkata bahwa kalian adalah orang-orang ria (mencari pujian).” Hadits ini menunjukan dzikir jahar karena dengan dzikir jahar (terdengar) itulah orang munafik akhirnya menyebutnya ria .

- HADIITS KE ENAM

Juga dalam kitab Sya’bil Iman yang di shohehkan oleh Al-Hakim dari Abu Sa’id Al-Khudri ra., berkata :“Nabi Saw, bersabda,” Perbanyaklah dzikir kepada Allah kendati kalian dikatakan gila”. (H.R.Al-Hakim danAl-Baihaqi)

- HADITS KE TUJUH,
Dari Jabir bin Abdullahra, berkata :Ada seorang yang mengeraskan suaranya dalam berdzikir, maka seorang berkata, “ semestinya dia merendahkan suaranya.” Rosulullah bersabda,” Biarkanlah dia,sebab sesungguhnya dia adalah lebih baik.“ (Al-Baihaqi).

Dari Sa’id bin Aslam ra., katanya Ibnu Adra’ berkata, “ Aku menyertai Nabi Saw. Pada suatu malam, lalu melewati seseorang di mesjid yang mengeraskan suaranya, lalu aku berkata, “ Wahai Rosulullah, tidaklah ia termasuk orang ria ? “ Beliau menjawab, “ Tidak,tetapi dia pengeluh,” (H.R.Baihaqi).


PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG DZIKIR JAHAR


Imam An-Nawawi berkata : Bahwa bacaan dzikir sir (samar) lebih utama apabila takut ria, atau khawatir mengganggu orang yang sedang sholat atau tidur. Sedangkan yang jahar (dzikir keras) lebih baik apabila tidak ada kekhawatiran tentang hal ini, mengingat amalan di dalamnya lebih banyak manfaatnya, karena ia dapat membangkitkan kalbu orang yang membaca atau yang berdzikir, ia mengumpulkan semangat untuk berfikir, mengalahkan pendengaran kepadanya, mengusir tidur, dan menambah kegiatan” (dalam Kitab Haqiqot Al-Tawwasulu wa Al-Wasilat Al-Adlow’il kitabi wa As-Sunnah).

Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih didalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang kepada Allah yang telah menjadikan hati jadi keras bagaikan batu, penghalangnya yaitu seperti sipat malas, sombong, ria, iri dengki dan sebagainya)

Imam Al-Ghozali r.a. mengatakan: “Sunnat dzikir keras (jahar) diberjemaahkan di mesjid karena dengan banyak suara keras akan memudahkan cepat hancurnya hati yang keras bagaikan batu, seperti satu batu dipukul oleh orang banyak maka akan cepat hancur”.




KENAPA MESTI DZIKIR KERAS?


Ulama ahli ma’rifat mengatakan bahwa untuk mencapai ma’rifat kepada Allah bisa diperoleh dengan kebeningan hati. Sedangkan kebeningan hati itu bisa dicapai dengan suatu thoriqoh (cara), diantaranya banyak berdzikir kepada Allah. Jadi, ma’rifat tidak akan bisa diperoleh jika hati kita busuk penuh dengan kesombongan, ria, takabur, iri dengki, dendam, pemarah, malas beribadah dan lain-lain. Oleh sebab itu dzikir diantara salah satu cara (thiriqoh) untuk membersihkan hati.

Sebab, manusia sering menyalahgunakan fitrah yang diberikan Tuhan, sehingga hati mereka menjadi keras. Sifat-sifat yang tidak terpuji tersebut, mendorong manusia memiliki hati yang keras melebihi batu. Hal tersebut sebagaimana kalimat yang tercantum dalam Al Quran surat Al Baqoroh ayat 74: tsumma qosat quluubukum minba’di dzaalika fahiya kal hijaaroti aw asyaddu qoswatun”, artinya “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu,bahkan lebih keras lagi”. Dari ayat tersebut hati manusia yang membangkang terhadap Allah menjadikan hatinya keras bagaikan batu bahkan lebih keras daripada batu.

Maka, jalan keluarnya untuk melembutkan hati yang telah keras bagaikan batu sehingga kembali tunduk kepada Allah, sebagaimana Ulama ahli ma’rifat mengatakan penafsirkan ayat tersebut, sebagaimana dalam kitab miftahu Ash-Sshudur karya Sulthon Awliya Assayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “fakamaa annal hajaro laa yankasiru illa biquwwatin dlorbil muawwil fakadzaalikal qolbu laayankasiru illa biquwwati ”, artinya “sebagaimana batu tidak pecah kecuali bila dipukul dengan tenaga penuh pukulan palunya, demikian hati yang membatu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan kuatnya suara dzikir. “liannadz dzikro laa yu’tsiru fiijam’i tsanaati qolbi shohibihi illa biquwwatin”, artinya “ Demikian pula dzikir tak akan memberi dampak dalam menghimpun fokus hati pendzikirnya yang terpecah pada Allah kecuali dengan suara keras”.


Syekh Ibrihim Al-Mabtuli r.a. menerangkan juga dalam kita kifayatul At-Qiya hal 108 : “Irfa’uu ashwatakum fidzdzikri ila antahshula lakum aljam’iyatu kal ‘arifiin.“ Artinya: “Keraskanlah suaramu didalam berdzikir, sehingga sampai menghasilkan al jam’iyah (keteguhan hatimu) seperti orang-orang yang telah mengenal Allah”. Selanjutnya masih menurut beliau “Dan wajib bagi murid-murid yang masih di dalam tahap belajar menuju Allah, untuk mengangkat suaranya dalam berdzikir, sampai terbongkarlah hijab (yaitu penghalang yang akan menghalangi kita dekat kepada Allah, seperti sifat-sifat jelek manusia: iri, dengki, sombong, takabur,dll yang disumberkan oleh hati yang keras).




CARA BERDZIKIR DENGAN KERAS YANG DIAJARKAN ROSUL


Dalam hadits shohihnya, dari Yusuf Al-Kaorani : “Sesungguhnya Sayyidina ‘Ali r.a. telah bertanya pada Nabi Saw. : Wahai Rosulullah, tunjukkanlah kepadaku macam-macam thoriqot (jalan) yang paling dekat menuju Allah dan yang paling mudah bagi hamba-hamba-Nya dan yang paling utama di sisi Allah, maka Nabi Saw menjawab: wajiblah atas kamu mendawamkan dzikkrullah: Sayyidina ‘Ali r.a bertanya lagi: Bagaimana cara berdzikirnya ya Rosulallah? Maka Nabi menjawab: pejamkan kedua matamu, dan dengarkan (ucapan) dariku tiga kali, kemudian ucapkan olehmu tiga kali, dan aku akan mendengarkannya. Maka Nabi Saw. Mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali sambil memejamkan kedua matanya dan mengeraskan suaranya, sedangkan Sayyidina ‘Ali r.a mengucapkan LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali, sedangkan Nabi Saw memdengarkannya”. (Hadits dengan sanad sahih, dalam kitab Jami’ul Ushul Auliya)

Dalam kitab Tanwirul Quluub dijelaskan cara gerakan dzikir agar terjaga dari datangnya Syetan, merujuk Firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al’Arof ayat 17: “Demi Allah (kami Syetan) akan datang kepada manusia melalui arah depan, arah belakang, arah kanan dan arah kiri”. Ayat ini menunjukan arah datangnya syetan untuk menggoda manusia agar menjadi ingkar terhadap Allah. Jelas, sasarannya manusia melalui empat arah; 1. Depan 2.Belakang 3.Kanan 4.Kiri.Maka, dzikirnya pun harus menutup empat arah. Dalam kitab Tanwirul Qulub: ucapkan kalimat “LAA” dengan diarahkan dari bawah pusat tarik sampai otak hal ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah depan dan belakang. Adapun ditarik kalimat itu ke otak karena syetan mengganggu otak/pikiran kita sehingga banyak pikiran kotor atau selalu suuddzon. Dan “ILAA” dengan diarahkan ke susu kanan atas, dan kalimat “HA” diarahkan ke arah susu kanan bagian bawah adapun ini untuk menutup pintu syetan yang datang dari arah kanan. Dan “ILLALLAH” diarahkan ke susu kiri yang bagian atas serta bawahnya, hal ini untuk menutup pintu syetan yang datangnya dari arah kiri, namun lapadz jalalah yaitu lapadz “ALLAAH”nya diarahkan dengan agak keras ke susu kiri bagian bawah sekitar dua jari, karena disanalah letaknya jantung atau hati (keras bagaikan batu) sebagaimana pendapat Imam Al-ghozali.

Syarat berdzikir menurut para Ulama Tasawuf:

1. Dengan berwudlu sempurna
2. Dengan suara kuat/ keras
3. Dengan pukulan yang tepat ke hati sanubari


MANA YANG PALING UTAMA, DZIKIR KERAS (JAHAR) ATAU DZIKIR HATI (KHOFI)?


Dalam kitab ulfatu mutabarikin dan kitab makanatu Adz-dzikri bahwasanya Rosul pernah bersabda: “sebaik-baik dzikir adalah dalam hati”. Dalam kitab tersebut dijelaskan hal itu bagi orang yang telah mencapai kelembutan bersama Allah, hati bersih dari penyakit, hati yang sudah lembut. Sedangkan dzikir keras itu lebih utama bagi orang yang hatinya keras bagaikan batu, sehingga sulit untuk tunduk pada perintah Allah karena sudah dikuasai oleh nafsunya.

Dalam kitab Miftahu Ash-Shudur karya Sulthon Auliya As-Sayyid Asy-Syekh Al-‘Alamah ‘Al-‘Arif billah Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin r.a. bahwa “ Sulthon Awliya As-Sayyid Syekh Abu A-Mawahib Asy-Syadzili r.a. berkata: “Para ulama toriqoh berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama, apakah dzikir sir (hati) atau dzikir jahar (keras), menurut pendapat saya bahwa dzikir jahar lebih utama bagi pendzikir tingkat pemula (bidayah) yang memang hanya dapat meraih dampak dzikir dengan suara keras dan bahwa dzikir sir (pelan) lebih utama bagi pendzikir tingkat akhir (nihayah) yang telah meraih Al-Jam’iyyah (keteguhan hati kepada Allah)” .


Imam Bukhori, dalam kitab Sahihnya bab dzikir setelah salat fardlu, berkata: “ Ishaq ibnu Nasr memberitahu kami, dia berkata’Amru memberitahu saya bahwa Abu Ma’bad, pelayan Ibnu Abbas, semoga Allah meridloi keduanya, memberitahu Ibnu Abbas bahwa “Mengeraskan suara dalam berdzikir ketika jama’ah selesai dan shalat fardlu sudah biasa dilakukan pada masa Nabi Muhammad. Ibnu Abbas berkata: “Aku tahu hal itu, saat mereka selesai shalat karena aku mendengarnya”. Sayyid Ahmad Qusyayi. Q.s., berkata: ”inilah dalil keutamaan dzikir keras (jahar) yang didengar orang lain, dengan demikian ia membuat orang lain berdzikir kepada Allah dengan dzikirnya kepada Allah“.


DZIKIR KERAS MERESAHKAN? 


Dzikir keras tidak akan meresahkan atau mengganggu orang yang hatinya penuh dengan cinta kepada Allah. Dengan terdengarnya dzikir menjadi magnet (daya tarik) yang kuat bagi orang yang beriman, bahkan menjadi kenikmatan tersendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an QS.Al-Anfal ayat 2 :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu ialah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat-Nya bertambah kuat imannya dan mereka hanya kepada Allah saja berserah diri” .



ALLAH TIDAK TULI


Ada anekdot dari seorang Ulama Tasawuf pengamal thoriqoh: suatu hari ada dialog antara mahasiswi dan ulama tasawuf. Mahasiswi bertanya: “Pak Kiai, kenapa dzikir mesti keras (jahar) padahal Allah itu tidak tuli?”. Ulama Tasawuf menjawab dengan membalikan pertanyaan: “yang bisa kena sifat tuli itu yang memiliki telinga atau tidak?”. Mahasiswi menjawab: “iya yang punya telinga”. Ulama Tasawuf kembali bertanya: “Kalau Allah punya telinga tidak?”. Mahasiswi menjawab: “tidak punya”. Ulama tasawuf kembali bertanya lagi: “apakah dengan suara keras makhluk akan merusak pendengaran Allah?”. Mahasiswi menjawab: “tidak Pak Kiai”.

Selanjutnya Ulama Tasawuf mengatakan: “oleh sebab itu istighfarlah dan bersyahadatlah dengan baik, bagaimanapun Allah tidak akan tuli dan tidak akan rusak pendengaran-Nya oleh suara kerasnya makhluk. Bagi-Nya suara keras maupun pelan terdengar oleh Allah sama. Hanya saja, hati manusia yang tuli akan perintah Allah. Jadi, dzikir keras bukan untuk Allah dan bukan ingin didengar oleh Allah karena Allah sudah tahu. Tapi tujuan dzikir keras itu diarahkan untuk hati yang tuli kepada Allah yang keras bagaikan batu sedangkan kita tahu batu itu tidak akan hancur kecuali dengan pukulan yang kuat, begitupun hati yang keras bagaikan batu tidak akan hancur kecuali dengan suara pukulan dzikir yang kuat. Jadi, Allah tidak butuh akan dzikir kita, sebaliknya kitalah yang butuh akan dzikir kepada Allah supaya hati menjadi lembut, bersih dan ma’rifat kepada Allah.


Wallahu’alam bishowab. (dai kembar)

Copas dari :
http://solusinahdliyin.net/wacana/84-berdzikir-dengan-suara-keras.html